Minggu, 04 April 2010

Kenali Gangguan Seksual pada Remaja

Gangguan seksual merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh remaja pada masa sekarang. Jika hal ini terus berlangsung akan menyebabkan penurunan prestasi belajar serta dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Oleh karena itu, gangguan seksual ini perlu diketahui agar dapat dilakukan penatalaksanaan sebagaimana mestinya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan.
Bagi kebanyakan remaja, gangguan seksual biasanya dianggap sebagai suatu aib sehingga penderita umumnya menyembunyikan dan merasa malu untuk berkonsultasi atau berobat. Akibatnya, hal ini justru akan menimbulkan masalah yang lebih lanjut baik di bidang akademik maupun nonakademik. Pasalnya, selama remaja kehidupan laki-laki dan perempuan dihiasi oleh seksualitas. Sehingga masa remaja adalah waktu untuk penjelajahan dan eksperimen, fantasi seksual, dan kenyataan seksual, sehingga menjadikan seksualitas sebagai bagian dari identitas seseorang.
Menurut Prof Dr dr Aris Sudiyanto SpKJ (K), psikiater dari Fakultas Kedokteran UNS, remaja memiliki keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan mengenai misteri seksualitas. Kebanyakan remaja secara bertahap berhasil membentuk identitas seksual yang matang. Namun sebagian besar remaja harus melalui masa yang rawan dan penuh kebingungan sepanjang perjalanan seksual mereka. “Seksualitas meliputi aspek kepribadian individu, sikap, dan tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelaminnya,” jelasnya dalam Seminar Perilaku Seks Remaja di kampus UNS, beberapa waktu lalu.
Menurut pandangan psikodinamika, kelainan atau gangguan yang dialami pada masa remaja berkaitan dengan masalah perkembangan yang dialami, di mana proses gangguannya dapat dimulai sejak usia dini. Adanya masalah yang terjadi saat ini merupakan akibat konflik yang dihadapi saat masih kecil. Oleh karena itu, penanganannya pun dengan berusaha menemukan konflik yang menjadi masalah di masa kecil tersebut.
Aris menambahkan, seksualitas itu sendiri tergantung dari empat faktor yaitu identitas seksual, identitas gender, orientasi seksual dan perilaku seksual. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kepribadian, perkembangan, dan fungsi seseorang.
“Identitas seksual adalah pola karakteristik seksual biologi seseorang yakni kromosom, genetalia eksterna dan interna, komposisi hormonal, kelenjar kelamin, dan ciri-ciri seks sekunder. Pada perkembangan normal, karakteristik ini membentuk suatu pola terpadu yang membuat seseorang tidak ragu terhadap seks (kelamin) mereka,” ujarnya.
Sedangkan identitas gender adalah perasaan apakah dirinya seorang laki-laki atau perempuan. Umumnya pada usia 2 hingga 3 tahun, setiap orang telah memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya laki-laki atau perempuan.
Dorongan Seksual
Aris menerangkan, gangguan seksual pada remaja dapat dikelompokkan yakni, disfungsi seksual, parafilia, gangguan identitas jenis kelamin, serta adiksi seksual. Di antara keempat kelompok tersebut, parafilia merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan fantasi, dorongan, atau perilaku seksual berulang yang menyertakan objek selain manusia.
Ekshibisionisme adalah kelainan yang termasuk dalam kelompok parafilia di mana seseorang akan menunjukkan alat kelaminnya pada orang lain dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang yang didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik untuk melakukan kontak seksual aktual dengan korbannya.
Ada pula fetihisme yang berupa membangkitkan fantasi dengan benda berupa objek mati berupa pakaian dalam seperti bra, celana dalam, atau stoking. “Laki-laki dengan fetihisme lebih memilih objeknya daripada orang yang memiliki. Pada tahap yang lebih parah pengidap kelainan ini akan memakai pakaian lawan jenis dengan tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual disebut transvestik fetihisme,” paparnya.
Kelainan lain yang masih termasuk parafilia adalah melihat secara sembunyi-sembunyi orang yang tidak berpakaian atau saat membuka pakaian (voyeurisme), menggosok atau menyentuh tubuh orang tanpa izin (froterisme), melakukan seksual dengan anak yang belum puber (pedofilia), atau tindakan seksual dengan perasaan dipermalukan, diikat, serta dicambuk (masokisme seksual).
Dorongan seksual merupakan bawaan dan bervariasi pada orang yang berbeda, tetapi banyak perilaku seksual yang dipelajari. Pengalaman seksual awal, khususnya selama pubertas dan remaja memiliki efek yang tertanam. Jika pengalaman ini berhubungan kuat dengan kepuasan dan pelepasan tekanan, maka kemungkinan besar pengalaman ini akan diulangi, dan orang tersebut terkondisi pada bentuk khusus dari ekspresi seksual.
“Pembelajaran seksual sebaiknya dimulai sejak masa kanak-kanak. Pada pengertian luas, pembelajaran terjadi melalui interaksi orangtua dan anak,” pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About Me

Followers

Copyright © 2010 BulPen Corporation

Template By Nano Yulianto