Kamis, 30 September 2010

Tidak Dibenarkan Meminta Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluk-Nya

Diriwayatkan dari Jubair bin Muth'im bahwa ada seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam seraya berkata: "Ya Rasulullah! Orang-orang kehabisan tenaga, anak-bini kelaparan dan harta benda musnah. Maka mintalah siraman hujan untuk kami kepada Tuhanmu. Sungguh, kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara kepada Allah." Ketika itu, bersabdalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:
"Subhanallah, Subhanallah." Beliau pun tetap bertasbih sampai tampak pada raut muka para sahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau). Kemudian beliau bersabda: "Kasihanilah dirimu. Tahukah kamu siapakah Allah itu? Sungguh, kedudukan Allah jauh lebih Agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya, tidak dibenarkan Allah diminta sebagai perantara kepada siapapun dari makhluk-Nya…" dan seterusnya. (HR Abu Dawud)
Kandungan tulisan ini:
1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menolak dan tidak membenarkan orang yang mengatakan: "Kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu."
2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam marah sekali tatkala mendengar ucapan ini dan bertasbih berkali-kali, sehingga para sahabat merasa takut.
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak menolak ucapan orang badui tersebut: "Kami memintamu sebagai perantara kepada Allah."
4. Tafsiran "Subhanallah" (artinya: Mahasuci Allah dari segala hal yang tidak layak dengan keagungan dan kebesaran-Nya).
5. Bahwa kaum muslimin meminta perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam (pada masa hidupnya) untuk memohon (kepada Allah) siraman hujan.


Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.


Rabu, 08 September 2010

Wajib Mandikah Wanita Yang Bermimpi (Mimpi Basah)

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah seorang wanita mengalami mimpi (mimpi basah)? Jika ia mengalami mimpi itu, apakah yang ia lakukan? Dan jika seorang wanita mengalami mimpi itu kemudian ia tidak mandi, apakah yang harus ia lakukan? 

Jawaban:
Terkadang wanita itu mengalami mimpi (mimpi basah), sebab kaum wanita adalah saudara kaum pria, jika kaum pria mengalami mimpi maka demikian pulalah halnya wanita. Jika seorang wanita mengalami mimpi dan tidak keluar cairan syahwat pada saat bangun dari tidurnya, maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk mandi. Akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan adanya air dari kemaluannya, maka wanita itu diwajibkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salim yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
"Artinya : Ya, jika ia melihat air".
Jadi jika mimpi itu menyebabkan keluar air maka wajib baginya untuk mandi.
Jika mimpi itu telah berlalu lama sekali dan mimpi itu tidak menyebabkan keluar air maka tidak ada kewajiban mandi atasnya, akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan keluarnya air maka hendaknya ia menghitung berapa shalat yang telah ia tinggalkan lalu hendaknya ia melaksanakan shalat yang ia tinggalkan itu.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/20]

 
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 26 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.


Selasa, 07 September 2010

Usia Ideal Menikah

Pertanyaan:
Berapa usia ideal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, karena ada sebagian remaja puteri yang menolak dinikahi oleh lelaki yang lebih tua darinya? Dan demikian pula banyak laki-laki yang tidak mau menikahi perempuan yang lebih tua daripada mereka. Kami memohon jawabannya. Jazakumullahu khairan.


Jawaban:
Saya berpesan kepada para remaja puteri agar tidak menolak lelaki karena usianya yang lebih tua dari dia, seperti lebih tua 10, 20 atau 30 tahun. Sebab hal itu bukan alasan. Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam- sendiri menikahi Aisyah -rodliallaahu'anha-, ketika beliau berusia 53 tahun, sedangkan Aisyah baru berusia 9 tahun. Jadi, usia lebih tua itu tidak berbahaya, maka tidak apa-apa perempuannya yang lebih tua dan tidak apa-apa pula kalau laki-lakinya yang lebih tua. Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam- pun menikahi Khadijah -rodliallaahu'anha- yang pada saat itu berumur 40 tahun, sedangkan Rasulullah masih berusia 25 tahun sebelum beliau menerima wahyu. Itu artinya Khadijah lebih tua 15 tahun dari Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasasllam. Kemudian menikahi Aisyah -shollallaahu'alaihi wasallam sedang umurnya baru enam atau tujuh tahun dan beliau menggaulinya ketika dia berumur sembilan tahun sedang beliau lima puluh tiga tahun.

Banyak sekali mereka yang berbicara di radio-radio atau di televisi-televisi menakut-nakuti orang karena kesenjangan usia antara suami dan isteri. Ini adalah keliru besar! Mereka tidak boleh berbicara demikian! Kewajiban setiap perempuan adalah melihat dan memperhatikan laki-laki yang akan menikahinya, lalu jika dia seorang yang shalih dan cocok, maka hendaknya ia menerima lamarannya, sekalipun lebih tua darinya. Demikian pula bagi laki-laki, hendaknya lebih memperhatikan perempuan yang shalihah yang komit dalam beragama, sekalipun lebih tua darinya selagi perempuan itu masih dalam batas usia remaja dan produktif. Wal hasil, bahwa masalah usia itu tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dan tidak boleh dijadikan sebagai cela, selagi laki-laki atau perempuan itu adalah sosok lelaki shalih dan sosok perempuan shalihah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua.


Sumber:
Fatawal mar’ah, hal. 54. oleh Syaikh bin Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.


 

About Me

Followers

Copyright © 2010 BulPen Corporation

Template By Nano Yulianto