Selasa, 05 Oktober 2010

Arti Masing-Masing Sila Dari Pancasila

SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA

Perkataan Ketuhanan berasal dari Tuhan. Siapakah Tuhan itu? Jawaban kita ialah Pencipta segala yang ada dan semua makhluk. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagiNya, Esa dalam zatNya, dalam sifatNya maupun dalam perbuatanNya.
Pengertian zat Tuhan disini hanya Tuhan sendiri yang Maha Mengetahui, dan tidak mungkin dapat digambarkan menurut akal pikiran manusia, karena zat Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya yang perbuatan-Nya tidak mungkin dapat disamakan dan ditandingi dengan perbuatan manusia yang serba terbatas.

Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaan daripada makhluk hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan daripada makhluk dan siapapun justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu Tuhan adalah prima causa, yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya sebab-sebab yang lain.

Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah terbatas.
Negara Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, seperti pengertiannya terkandung dalam:

a.Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang antara lain berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa .... “
Dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa negara Indonesia tidak menganut paham maupun mengandung sifat sebagai negara sekuler.
Sekaligus menunjukkan bahwa negara Indonesia bukan merupakan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas landasan agama tertentu, melainkan sebagai negara yang didirikan atas landasan Pancasila atau negara Pancasila.

b.Pasal 29 UUD 1945
(1)Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Oleh karena itu di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan dan dihidupsuburkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh doleransi dalam batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntunan agama masing-masing, agar terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama.
Untuk senantiasa memelihra dan mewujudkan 3 model kerukunan hidup yang meliputi :
1.Kerukunan hidup antar umat seagama
2.Kerukunan hidup antar umat beragama
3.Kerukunan hidup antar umat beragama dan Pemerintah.
Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu faktor perekat kesatuan bangsa. Di dalam memahami sila I Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaknya para pemuka agama senantiasa berperan di depan dalam menganjurkan kepada pemeluk agama masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dianutnya, misalnya : bagi yang beragama Islam senantiasa berpegang teguh pada kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bagi yang beragama Kristen (Katolik maupun Protestan) berpegang teguh pada kitab sucinya yang disebut Injil, bagi yang beragama Budha berpegang teguh pada kitab suci Tripitaka, bagi yang beragama Hindu pada kitab sucinya yang disebut Wedha.

Sila ke I, Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sumber utama nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, yang menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan dan Sila II sampai dengan Sila V.


SILA KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang.

Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan / moral.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya.
Potensi kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia, tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal.
Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa yakni sesuai dengan kodrat manusia sebagai ciptaanNya.
Hal ini selaras dengan :
a.pembukaan UUD 1945 alinea pertama
b.Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945



PERSATUAN INDONESIA

Dalam krisis multidimensi yang melanda Indonesia dan tak kunjung pulih sepenuhnya serta ancaman disintegrasi bangsa, selain separatisme juga pertentangan antara pusat dengan daerah serta antara daerah (tingkat satu) dengan daerah (tingkat dua), maka orang akan mempertanyakan persatuan Indonesia. Apakah persatuan Indonesia masih ada ketika pembelahan masyarakat miskin dengan masyarakat kaya semakin besar dan semakin membesar. Masihkah layak kita berbicara tentang persatuan nasional ketika kesenjangan sosial kian merebak.

Lahirnya Pancasila
Persatuan adalah kata yang diucapkan oleh hampir seluruh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI dalam merumuskan dasar negara tahun 1945. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan pidato yang mendapat sambutan sangat meriah dari para anggota BPUPKI yang menegaskan tentang hal ini.

“Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua.”

Negara itu tentu didiami oleh bangsa. Menurut Renan, syarat bangsa adalah “kehendak untuk bersatu”. Soekarno menambahkan dengan mengutip anggota BPUPKI yang lain Bagus Hadikusumo, yang dibutuhkan adalah persatuan antara orang dengan tempat, antara manusia dengan tempatnya. Tempat itu tidak lain dari tanah air. Tanah air itu adalah suatu kesatuan.

“Minangkabau bukanlah satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Jogya hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang sudah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah menjadi ‘character gemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu dan sekali lagi satu!”

Tepuk tangan paling ramai diberikan setelah ia berpidato. Mengapa hal ini terjadi?

Sejak remaja Soekarno mengagumi gaya H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarekat Islam. Kekaguman itu tumbuh bahkan sejak Soekarno tinggal di rumah tokoh itu di Surabaya. Di ruang kamarnya yang sempit pada malam hari ia naik ke atas meja dan berlatih berpidato. Ia memang sudah membayangkan berbicara di depan rakyat banyak untuk menyampaikan pesan kebangsaan.

Pidato 1 Juni 1945 dimulai dengan bagian pengantar yang sangat diharapkan pendengarnya tentang “merdeka selekas-lekasnya”. Perumpamaan yang digunakan oleh Bung Karno sangat mengena yakni kalau kita ingin menikah tidak perlu punya rumah dulu dengan perabot lengkap. Tentu gaya bahasa ini cocok dengan kondisi pada zaman itu.

Rumusan Pancasila 1 Juni 1945 itu mendapatkan tantangan dengan tambahan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” yang kemudian diakomodasi dalam apa yang disebut Mukadimah (Sukarno) atau Piagam Jakarta (Muhammad Yamin) tanggal 22 Juni 1945.

Namun, ketika Pancasila disahkan sebagai dasar negara, maka ungkapan yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi menggunakan rumusan Piagam Jakarta. Ketiga peristiwa proses Pancasila sejak dicetuskan oleh Bung Karno, lalu menjadi Piagam Jakarta sampai dijadikan sebagai dasar negara, 18 Agustus memperlihatkan sikap kenegarawanan founding fathers dan founding mothers kita saat itu. Rumusan tertanggal 18 Agustus itu meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam teksnya sebagai Pancasila sudah kita terima secara resmi. Rumusan itu merupakan kompromi yang memperlihatkan bahwa pendiri bangsa kita lebih mengutamakan persatuan karena musuh sudah berada di depan pintu.

KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN

Dasar pemikiran kenapa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dijadikan sila ke-4 dari Pancasila, kemungkinan besar adalah pengaruh perkembangan ketatanegraan di Eropa dan Amerika Serikat pada saat itu yang meng-ilhami para pejuang kemerdekaan, apa sekiranya sistem pemerintahan yang paling tepat buat bangsa Indonesia apabila mendapatkan kemerdekaan ataupun masa-masa setelah itu.

Walaupun untuk justifikasi disebutkan digali dari budaya bangsa yang pada saat itu. Bentuk pemerintahan yang paling bawah di Indonesia yaitu kepala desa telah menggunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat yang seperti model demokrasi modern di Eropa dan Amerika Serikat. Termasuk juga sistem pemilihan ketua adat di banyak daerah di Indonesia, pada umumnya dipilih secara langsung oleh masyarakat. Dipilih diantara mereka yang dianggap tetua yang bijaksana dengan pemilihan melalui permusyawaratan dikalangan yang mewakili masyarakat maupun dipilih secara langsung oleh masyarakat.

Walaupun bagaimana sila ke-4 dari Pancasila – Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusywaratan/Perwakilan – ini yang paling sering di-interpretasikan secara salah oleh para pemimpin bangsa, bahkan oleh pemimpin yang telah menggali dan mempresentasikan Pancasila didepan PPPK pada tanggal 1 Juni 1945 – Bung Karno.

Hal ini dikarenakan UUD ’45 pada awalnya tidak secara jelas menjabarkan sila ini dalam bentuk operasional yang mencerminkan sila ke-4 secara tegas dan rinci. Oleh karena itu sebelum amandemen UUD’45 – amandemen dilakukakan pada masa reformasi yaitu dari tahun 1999 s/d 2002 – cerminan sila ke 4 dari Pancasila yang ada di UUD’45 saat itu memberikan kekuasaan yang hampir tidak terbatas kepada Presiden (Eksekutif) terpilih untuk mejalankan roda pemerintahan, dan ini betul-betul terjadi dengan kerancuan-kerancuan ketatanegaran yang terjadi sebelum masa reformasi, yaitu:

1. Presiden Soekarno ditunjuk oleh MPR – yang anggotanya ditunjuk oleh Presiden, bahkan anggota kabinet juga jadi anggota MPR, suatu kerancuan ketatanegaraan yang akut – saat itu menjadi presiden seumur hidup. Pemerintahannya dijatuhkan secara tragis dengan trigger peristiwa 30 September 1965.

2. Presiden Soeharto bisa memerintah selama 32 tahun dan memasukkan unsur ABRI yang ditunjuk begitu saja kedalam DPR dan MPR. Hanya bisa dijatuhkan setelah terjadi krisis ekonomi yang tidak bisa diatasi maupun gejolak perubahan yang berkembang di secara informal diluar sistem demokrasi itu sendiri.

Kedua pemerintahan tersebut selalu menganggap tidak pernah melanggar UUD’45 bahkan merasa telah mejalankan ideologi Pancasila secara baik. Oleh karena itu adalah langkah yang sudah benar yang telah dilakukan oleh anggota legislatif (DPR) yang diperkuat oleh anggota MPR secara keseluruhan hasil pemilu 1999 yang telah melaksanakan amandemen UUD’45 terutama yang berkaitan dengan ketatanegaran didalamnya. Adalah pemikiran set-back kalau kita ingin kembali ke UUD’45 yang asli.

Dengan demikian pencabaran pembukaan UUD ’45 berkenaan dengan sila ke-4 dari Pancasila di UUD’45 sudah lebih mencerminkan suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Oleh karena itu penulis tidak akan membahas penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan sila ke-4 itu dimasa sebelum amandemen UUD’45 (sebelum tahun 1999), yang sudah pasti jauh menyimpang dari semangat sila ke-4 dari Pancasila. Kita akan melihat bersama apakah setelah mengalami empat kali amandemen yaitu: I - tahun 1999, II – tahun 2000, III – tahun 2001, dan IV – tahun 2002, pemerintahan maupun rakyat Indonesia sudah menghayati, mengamalkan, dan melaksanakan sila-4 dari Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Apakah sila ke 4 dari Pancasila sudah terefleksikan di UUD’45 sebagai petunjuk operasional secara baik?

Setelah empat kali amandemen, sila ke 4 dari Pancasila yang bisa diartikan sebagai sistem pemerintahan yang demokratis yaitu sistem pemerintahan yang mendasarkan diri kepada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, telah tercermin dalam pasal-pasal di UUD’45, sebagai berikut:

1. BAB II – MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, pasal 2 s/d pasal 3.
2. BAB III – KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, pasal 4 s/d pasal 16.
3. BAB IV – DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG, dihapus pada amandemen IV – 2002.
4. BAB V – KEMENTERIAN NEGARA, pasal 17
5. BAB VI – PEMERINTAH DAERAH, pasal 18, 18A, dan 18B
6. BAB VII – DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Pasal 19 s/d pasal 22B
7. BAB VIIA - DEWAN PERWAKILAN DAERAH, pasal 22C, 22D
8. BAB VIIB – PEMILIHAN UMUM, pasal 22E
9. BAB VIII - HAL KEUANGAN, pasal 23 s/d 23D
10. BAB VIIIA - BADAN PEMERIKSA KEUANGAN, pasal 23E s/d 23G
11. BAB IX – KEKUASAAN KEHAKIMAN, pasal 24 s/d pasal 25

Pasal-pasal tersebut telah mengalami empat kali amandemen untuk sampai pada bentuk yang sekarang ini yang pada hakekatnya membagi kekuasaan negara untuk lebih berimbang diantara lembaga tinggi negara (MPR, DPR, DPD, BPK, Presiden dan Mahkamah Agung) sehingga kekuasaan tidak terpusat terlalu besar di Presiden (Eksekutif) saja seperti yang tercermin pada UUD’45 sebelum amandemen.

Kalau kita menterjemahkan sila ke-4 dari Pancasila - kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan – adalah sistem demokrasi untuk penyelenggaraan Negara, sudah barang tentu amandemen UUD’45 yang berkaitan dengan ketatanegraan ini adalah kemajuan yang sangat besar dibandingkan dengan UUD’45 versi aslinya yang kekuasaan Negara terlalu besar berada di Presiden (Eksekutif). Tapi apakah sistem demokrasi ini yang dimaksudkan dalam Pancasila?


Pancasila sebagai kesatuan yang utuh
Untuk pertama kalinya, apabila kita membahas sila ke 4 dari Pancasila, ada kebutuhan melihat Pancasila sebagai suatu keutuhan, tidak bisa melihat Pancasila satu persatu sila yang ada, karena kalau kita melihat sila dalam Pancasila satu persatu, kita tidak akan bisa melihat sesuatu yang unik di Pancasila.

Kita harus melihat Pancasila dalam bentuk kesatuan atau benang merah yang terangkai dalam sila-sila Pancasila sehingga maknanya adalah sebuah prinsip dasar yang unik dan hanya dipunyai oleh bangsa Indonesia yang berbeda dengan prinsip yang mendasari demokrasi barat ataupun komunis/sosialis yang mendasari negara-negara Eropa Timur, China, dll.

Karena itu kita bisa membentuk persepsi baru tentang Pancasila sebagai konsep dasar bangsa Indonesia dalam melaksanakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat dengan sistem penyelenggaraan Negara secara demokratis yaitu sesuai dengan sila ke-4 dari Pancasila – Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan – tapi sistem demokrasi yang dibangun harus dalam koridor atau dalam ruang lingkup sila-sila yang lain dalam Pancasila.

Suatu sistem demokrasi yang ber-Ketuhanan Maha Esa (sila-1 sebagai prinsip keharusan mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kebebasan memilih agama dan kepercayaan masing-masing), yang ber-Peri Kemanusian Yang Beradab (sila-2 sebagai prinsip keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip hak-hak azasi manusia), yang tetap menjaga Persatuan Indonesia (sila ke-3 prinsip keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk menjaga prinsip satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia), yang mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 yang mengharuskan Negara menjamin dan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.)

Kalau kita meterjemahkan Pancasila seperti tersebut diatas kita baru bisa melihat Pancasila sebagai ideologi yang unik yang mungkin baru dimulai di Indonesia yang mungkin bisa menjadi ideologi yang universal kalau negara dan bangsa Indonesia mampu merealisasikan dalam bentuk nyata. Prinsip demokrasi yang punya koridor yang sangat jelas pada batas-batas sila yang lain dalam Pancasila. Bukan prinsip demokrasi untuk demokrasi tapi demokrasi yang punya tujuan mulia. Bukan juga demokrasi Barat yang berpasangan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan kapitalisme.

Pancasila adalah ideologi yang juga berarti suatu sistem ide yang dijadikan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai prinsip dasar negara yang diharapkan menjadi “basic belief” ataupun “way of life” sudah pasti dibuat sesempurna mungkin jadi tidak harus dirubah dari waktu ke waktu, kalau bisa sistem ide ini memang dibuat sekali tapi sudah bisa mencakup periode yang selama-lamanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Tantangan dari para penyelengara NKRI maupun rakyat Indonesia adalah untuk merealisasikan mimpi atau impian konsep dasar Pancasila yang telah diletakkan oleh para pejuang kemerdekaan ini menjadi suatu kenyataan, bisa terwujud dalam penyelenggaraan NKRI maupun terwujud dalam tata masyarakat bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Untuk bisa mencapai format demokrasi yang pas bagi bangsa Indonesia yang diperlukan adalah komitmen yang kuat bagi para penyelenggara NKRI maupun rakyat Indonesia untuk sedikit dengan sedikit menunju kondisi ideal seperti yang disajikan dalam prinsip-prinsip yang ada pada sila-sila di Pancasila agar mimpi atau impian para pejuang kemerdekaan untuk membentuk suatu masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera bisa terwujud.


KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Interpretasi dan pelaksanaan terhadap pasal 33 ayat 3 s/d 4 dan pasal 34 UUD’45

Pasal 33 ayat 3 mengatakan: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat (Note: Ini masih asli UUD’45 dari awal).

Kenyataannya hampir semua pertambangan (tembaga, batubara, nikel, dll) telah dikuasai pihak swasta dan pihak asing yang hanya menguntungkan pribadi-pribadi dan pihak asing yang sangat merugikan rakyat, termasuk kerusakan lingkungan yang diakibatkan explorasi tanpa batas.

Sangat jelas bahwa tidak ada satupun pemerintahan setelah Indonesia merdeka yang telah menjalankan pasal 33 ayat 3 ini dengan baik justru kejadiannya dengan budaya KKN yang akut hampir semua konsesi explorasi sumber alam sangat menguntungkan pihak swasta dan pihak asing.

Sedangkan negara apalagi rakyat Indonesia tidak pernah merasakan manfaatnya secara optimal bahkan menderita akibat kerusakan lingkungan dengan adanya banjir yang tidak pernah diatasi pada musim hujan dan kekeringan serta kekurangan air bersih pada musim kering. Ini sangat terlihat dengan indikasi:

(1) Kerusakan hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa akibat penggundulan hutan tanpa adanya usaha penanaman kembali. Kalaupun ada usaha penanaman kembali hanya merupakan usaha sporadis, tanpa ada konsep terpadu yang komprehensif.

(2) Penambangan tembaga di Tembagapura oleh Freeport yang menyebabkan dua bukit sudah menjadi danau, bisa dibayangakan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Saat ini masih berlangsung entah akan ada berapa bukit lagi yang akan menjadi danau.

(3) Penambangan batubara besar-besaran di Kalimantan Timur dan Selatan yang dilakukan oleh perusahaan penambang besar, perusahaan penambang kecil maupun penambang liar. Entah akan dijadikan apa bekas-bekasnya, sedangkan infrastruktur jalan tidak pernah diperhatikan/diperbaiki, belum lagi banyaknya pelabuhan batubara di sepanjang sungai di Kalsel dan Kaltim yang apakah secara efektif bisa dikontrol oleh pemerintah daerah, menimbulkan banyaknya kemungkinan KKN dari petugas pabean dalam ekspor batubara.

(4) Entah bagaimana cara mengelolanya sebagai penghasil minyak mentah dan gas, rakyat Indonesia bisa terbebani harga minyak BBM dan gas yang mahal.

Diatas adalah sekedar contoh kalau dilihat lebih teliti lagi masih banyak perihal tidak taatnya pemerintah semejak kemerdekaan sampai dengan saat ini dengan UUD pasal 33 ayat 3 yang mengakibatkan pengurasan hasil alam oleh pihak swasta nasional dan swasta asing. Rakyat Indonesia bukan saja tidak pernah menikmati hasilnya, tapi merasakan akibat dari kerusakan lingkungan yang entah bisa diperbaiki atau tidak.

Pasal 33 ayat 4 mengatakan: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Note: Ini hasil amandemen ke-4 tahun 2002).

Esensi ayat 4 ini adalah mencoba lebih menjelaskan pasal 33 ayat 1 yang mungkin tidak begitu jelas artinya. Realitasnya tetap saja pemerintah saat ini tidak bisa melaksanakan pasal 33 ayat 4 ini dengan baik:

(1) Apa yang dikmaksud dengan demokrasi ekonomi ? Seperti halnya demokrasi politik yang berarti kekuasan ditangan rakyat. Demokrasi ekonomi adalah prinsip ekonomi kerakyatan yang ekonomi disusun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kenyataannya infrastruktur ekonomi disiapkan oleh pemerintah (ditambah lagi kemudahan akses pinjaman dari bank pemerintah) yang lebih berpihak ke pada para pemodal besar dan dengan mudahnya para konglomerat yang menyebabkan hancurnya perkenomian Indonesia pada 1997 kembali mencengkeram perekonomian Indonesia dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan Indonesia.

Rakyat Indonesia tetap saja miskin, malahan makin banyak yang tambah miskin. Bahkan banyak konglomerat yang mengeruk keuntungannya di Indonesia tapi tinggalnya di Singapore, Hongkong atau negera lain dengan kehidupan yang super mewah.

(2) Efesiensi keadilan. Yang dimaksud keadilan dalam bidang ekonomi yaitu distribusi kekayaan yang lebih adil diantara rakyat Indonesia. Apakah ada keadilan distribusi kekayaan Indonesia bagi selurauh rakyat Indonesia saat ini? Dimana terjadinya keadilan?

(3) Berwawasan lingkungan. Kita semua tahu seberapa besar kerusakan lingkungan yang disebabkan explorasi hutan dan pertambangan di Indonesia. Kebijakan wawasan lingkungan seperti apa yang dijalankan pemerintah selama in? Tidak jelas, oleh karena itu kerusakan lingkungan akan terus berlangsung sampai akan terjadi “the nature will fight back”. Alam pasti akan membalas dengan caranya terhadap kerusakan yang terjadi dan ini adalah bagian dari hukum alam.

(4) Kemandirian. Apakah pemerintah telah menjalankan konsep ekonomi mandiri? Ada sedikit saja gejolak ekonomi di Amerika seperti akhir-akhir ini dengan krisis mortgage dan melambungaya harga minyak mentah, ekonomi Indonesia sudah mau sekarat dengan terjun bebasnya pasar modal Indonesia sampai nilai IHSG turun sekitar 70%.

Menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok yang pasti akan mengakibatkan bertambahnya orang miskin di Indonesia. Jelas ekonomi Indonesia sangat tergantung dengan pinjaman asing dan investasi asing, bahkan dibidang pangan saja belum 100% mandiri.

Karena pemerintah tidak pernah punya kebijakan perekonomian mandiri. Perekonomian Indonesia samasekali tidak punya daya tahan (endurance) terhadap gejolak perekonomian global, terutama gejolak perekonomian Amerika Serikat. Ini juga akibat dari sistem ekonomi liberal atau kapitalsme secara global yang lebih menguntungkan negara maju dbandingkan dengan negara yang sedang berkembang.

(5) Menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kesenjangan perkembangan ekonomi antara Indonesia Bagian Barat dan Bagian Timur sampai saat ini saja belum bisa dijembatani dengan baik.

Dengan adanya otonomi daerah, kesenjangan akan terjadi antar kabupaten/propinsi, apakah pemerintah pusat punya cara menjembatani kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/propinsi di seluruh Indonesia?

Kalau tidak ada kebijakan yang lebih baik, bisa terjadi pada suatu saat kabupaten atau propinsi yang punya kekayaan alam melimpah akan memisahkan diri dari Indonesia. Ini adalah bahaya disintegarsi yang mungkin terjadi apabila otonomi daerah tidak dikelola dengan lebih baik.

Jadi pasal 33 ayat 4 ini adalah pasal pajangan saja, tanpa ada aktualisasi dalam bentuk nyata. Bukan hanya ayat 4 saja, hampir semua ayat dalam pasal 33, UUD ’45 dalah ayat pajangan. Sebagai akibat kebijakan ekonomi Indonesia yang tidak pernah merujuk pasal 33, UUD ’45, pemerintah tidak pernah punya dana lebih untuk bisa dipakai untuk program kesejahteraan yang ada di pasal 34, UUD ’45. Karena dananya sudah terserap lebih banyak ke 23,000 rakyat Indonesia yang paling kaya (kaum pemodal) ditambah dengan para pejabat, anggota legislatif (DPR), judikatif atau pokoknya hampir mayoritas para penyelengara negara yang punya kesempatan ber-KKN ria (kemungkinan kurang lebih 30% dari APBN terserap untuk kemewahan hidup para penyelengga negara yang punya kesempatan ber-KKN ria).


Jadi kita lihat saja pasal 34 satu persatu:

(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Apa ada fakir miskin dan anak terlantar yang dipelihara negara saat ini? Kalau memang ada program ini di pemerintah, tentu tidak ada pengemis dan pengamen anak-anak yang tersebar hampir di semua perempatan jalan-jalan besar di ibukota maupun kota-kota besar di Indonesia.

(2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Memang pemerintah sudah punya program Jamsostek untuk para pekerja Indonesia tapi semua sangat minim dan tidak cukup baik untuk mengangkat derajat pekerja Indonesia.

Indonesia paling tidak harus meniru Singapore dengan program CPF-nya (Central Provident Fund), yaitu program jaminan sosial yang cukup memadai sehinga rakyatnya mampu punya perumahan yang memadai dan mampu menyekolahkan anaknya.

(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pelayanan kesehatan gratis selama ini baru sebatas kampanye para pilkada, apakah sudah ada pelayanan kesehatan gratis buat rakyat selama ini?

Apakah ada pelayanan umum yang baik? Pada umumnya rakyat dibebani tambahan biaya untuk hampir semua pelayanan umum, dari pembuatan KTP, SIM, Paspor, dll. Pada umumnya, pelayanan umum di pemerintahan masih sangat lambat dan berbelit-belit.

Pemerintah tidak pernah betul-betul mengembangkan konsep pelayanan umum yang baik. Padahal pelayanan ini kalau dikelola dengan baik bisa menjadi pendapatan negara yang tidak sedikit, seperti Singapore negara kecil yang menggantungkan sebagian besar pendapatan negara hanya dari sektor jasa atau sektor pelayanan ternyata telah lebih bisa menyejahterakan rakyatnya.

Kuncinya adalah pelaksanaan pasal 33 dan pasal 34, UUD’45 secara lebih baik, kalau tidak pemerintah hanya akan diperalat oleh kaum pemodal (baik oleh para pemodal dalam negeri maupun oleh para pemodal asing) untuk kepentingannya, diperparah dengan budaya KKN yang akut, pemerintah tidak akan pernah punya dana yang cukup untuk program kesejahteraan rakyat seperti diamanatkan pada pasal 34, UUD,45. Akibatnya pemerintah tidak pernah mampu menjalankan amanat dasar negara Pancasila, sila ke 5 - mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2 komentar:

wah terima kasih atas komentarnya gan. itung2 ini berbagi info sedikit

Posting Komentar

 

About Me

Followers

Copyright © 2010 BulPen Corporation

Template By Nano Yulianto